Menyoal Penetapan Tersangka 'Pembunuh Begal' Oleh Polres Lombok Tengah  - Siber24jam

Update

Menyoal Penetapan Tersangka ‘Pembunuh Begal’ Oleh Polres Lombok Tengah 

M. Ali, SH, MHM. Ali, SH, MH menyoroti penetapan tersangka pembunuh begal oleh Polres Lombok Tengah. (Foto: istimewa)

 

Ditulis Oleh: M. Ali, SH, MH

 

Siber24jam.com – Dalam sepekan terakhir jagat pemberitaan nasional baik media elektronik, cetak maupun online dihebohkan dengan pemberitaan penetapan tersangka oleh Polres Lombok Tengah (Loteng) terhadap ‘pembunuh begal’ Murtede alias Amang Santi.

Murtede ditetapkan sebagai tersangka atas pembelaan dirinya terhadap upaya pembegalan yang dialaminya. Dalam tindakan tersebut Murtede telah menyebabkan tewasnya dua orang begal.

Atas tindakan tersebut murtede telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Loteng.

Penetapan tersangka atas upaya pembelaan terpaksa oleh polri ini bukan kali pertama terjadi. Tindakan serupa juga pernah terjadi di Deli Serdang Sumatera Utara.

Dimana seorang pedagang di Pasar Gambir, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) berinisial LG ditetapkan sebagai tersangka usai cekcok dan dipukuli oleh preman yang melakukan pungutan liar (pungli).

Penetapan tersangka atas pembelaan terpaksa murtede dan LG itu Viral dan menimbulkan gelombang reaksi penolakan di masyarakat.

Gelombang penolakan tersebut menunjukan bahwa standar kesalahan normatif dimata masyarakat yang berbeda dengan standar kesalahan dimata hukum positif.

Polri sebagai lembaga penegak hukum cenderung tunduk pada ketentuan hukum positif baik secara materil maupun formil.

Tindakan penetapan tersangka atas murtede atau LG sudah merupakan standar operasional penegakan hukum pidana Indonesia atau dengan bahasa lain sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP.

Dimana memang seharusnya polri dalam hal ini penyidik menyajikan fakta hukum untuk selanjutnya majelis hakim lah yang berwenang untuk memutuskan apakah tindakan Murtede atau LG bisa dikategorikan sebagai upaya pembelaan terpaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 KUHP.

Akan tetapi sesungguhnya diakui atau tidak bahwa secara akal sehat tindakan tersebut bertentangan dengan cita keadilan dimata masyarakat.

Dan penegak hukum seharusnya tidak boleh mengabaikan itu, karena hukum itu sejatinya dibentuk untuk kepentingan masyarakat bukan sebaliknya Masyarakat untuk hukum.

Apabila hal tersebut diabaikan oleh Polri maka justru akan memperburuk citra polri dimata masyarakat.

Namun jika dicermati sesungguhnya pihak polri memiliki kewenangan diskresi atas perkara tersebut seperti halnya yang disebutkan dalam UU No. 2 tahun 2022 Tentang Kepolisian Negara RI yaitu pasal 15 ayat (2) Kepolisian Negara RI sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan lainnya berwenang melaksanakan  kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas Kepolisian.

Pasal 16 ayat (1) Dalam rangka melaksanakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara RI berwenang untuk:

1. Mengadakan tindakan lain yang menurut hukum yang bertanggungjawab, dan

2. Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sbb :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan.

c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatan nya.

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.

e. Menghormati hak asasi manusia. dan pasal 18 ayat (1). UU No. 22 tahun 2022 tentang kepolisian RI menyebutkan bahwa untuk kepentingan umum pejabat kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Ayat  (2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan dalam keadaan  yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik kepolisian RI.

Adapun beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan oleh polri dalam menerapkan kebijakan diskresi diantaranya :

  1. Adanya suatu pilihan yang diperhadapkan bagi pejabat untuk memilih suatu putusan yang rasional dan mendasar dengan ketentuan pilihan memberikan suatu putusan yang tepat dan benar terhadap suatu kasus.
  1. Adanya tata bahasa hukum yang tidak konkrit.
  2. Terdapat celah dan kekosongan hukum yang dipandang sebagai sebuah permasalahan akar permasalahan.
  3. Adanya kontradiksi dan inkonsistensi antara dua ketentuan hukum yang dapat diterapkan dalam perkara tersebut.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas polri dapat saja menerapkan kebijakan atau diskresi dalam perkara a quo demi terwujudnya masyarakat yang kondusif sesuai dengan tugas polri dalam menegak hukum, melindungi dan mengayomi masyarakat.

Akan tetapi dalam hal ini polri harus selektif dalam menentukan perkara-perkara yang tepat atau dalam bahasa lain diskresi harus diberikan atau diterapkan secara limitatif.

Karena apabila polri mengobral kebijakan diskresi juga akan menimbulkan tindakan yang sewenang-wenang atau bahkan bisa melanggar hukum.

Dalam menyikapi permasalahan ini secara Ius Constitendum untuk kepentingan perbaikan materi hukum sesuai dengan cita keadilan publik maka sebaiknya perlu dibentuk tim khusus dari lembaga yang berwenang.

Hal itu sebagai upaya menyingkronkan, menyelaraskan ketentuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 KUHP dengan ketentuan upaya main hakim sendiri (eigenrechting) sehingga hal serupa tidak terjadi lagi sebelum disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) menjadi KUHP.***

Editor: Muzakkir

 

Tags: , , , , , , ,

WordPress Ads