Siber24jam.com – Hukum adalah seperangkat peraturan, kaedah atau nilai yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dibuat oleh lembaga yang berwenang baik dalam bentuk perintah ataupun larangan dan disertai dengan sanksi-sanksi yang tegas bagi pelanggarnya untuk mencapai tujuan keadilan, kemanfaatan dan kepastian guna menjamin hak-hak masyarakat.
Demikian definisi singkat tentang hukum menurut penulis. Hukum adalah satu kebutuhan penting dalam sejarah perkembangan peradaban ummat manusia.
Tidak ada satu sendi kehidupan pun yang luput dari peran serta hukum didalamnya. Sejak saat manusia dilahirkan hingga ia meninggal akan selalu membutuhkan hukum.
Oleh karena itu tidak berlebihan jika penulis menyebut Hukum adalah nafas peradaban ummat manusia.
Hukum akan tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan kehidupan dan peradaban umat manusia.
Eman Sulaiman menyebutkan bahwa “Bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjalankan fungsi hukum nya secara merdeka dan bermartabat.”
Merdeka berarti penegakan hukum yang bebas, mandiri dan tanpa tekanan dari pihak manapun dan bermartabat berarti hukum ditegakkan dengan prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian yang baik, merata dan tidak pandang bulu. Semakin tinggi suatu peradaban maka nilai hukum akan semakin baik.
Dunia hukum Indonesia sepanjang pengamatan penulis memang banyak sekali permasalahan yang sepatutnya dibenahi.
Permasalahan tersebut terlihat mulai dari sisi teoritis yang usang, materi hukum yang sudah jauh tertinggal dari perkembangan zaman, hingga permasalahan aparatur penegak hukum yang tidak atau kurang berintegritas yang memperparah kondisi hukum Indonesia.
Sejauh ini Berdasarkan hasil Survey dari Lembaga Survey Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa “56,0% publik menyatakan tidak puas dengan Penegakan Hukum Di Indonesia, hanya 29,8% publik menyatakan Puas dan sisanya 14,2% memilih tidak menjawab.”
Angka di atas menunjukan betapa memprihatinkan nya kondisi hukum di Indonesia yang juga berarti betapa rendahnya wibawa hukum dimata masyarakat.
Dari sisi lapangan teoritis dan praktik salah satu permasalahan seperti dikemukakan oleh Dr. Chairul Huda yang menyebutkan bahwa “Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana masih menyisakan berbagai persoalan dalam hukum pidana”.
Lebih lanjut beliau menyebutkan hal ini bukan hanya dalam lapangan teoritis tetapi lebih jauh lagi dalam lapangan praktik hukum.
Kenyataan dalam praktik peradilan menunjukan belum adanya kesamaan pola dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
Kesepahaman dalam memahami kesalahan dan pertanggungjawaban pidana adalah pemahaman dasar yang harus dimiliki oleh setiap penegak hukum.
Hal itu penting karena kesalahan adalah dasar untuk dimintai pertanggungjawaban pidananya karena sejatinya Tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.
Dari sisi materi hukum indonesia adalah salah satu negara yang sampai saat ini masih menggunakan materi hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan pemerintah kolonial Belanda sehingga materi tersebut sebagian sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia masa kini.
KUHP yang ada saat ini memuat materi hukum yang sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat pada saat KUHP tersebut disusun . Dimana secara historis KUHP indonesia yang dibawa belanda pada tahun 1918 dengan nama Wetboek van strafrech vor Nederlnds-indie dan diterapkan di Indonesia melalui asas konkordansi adalah jiplakan dari Code Penal Prancis yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte dari hukum Romawi.
Kondisi KUHP yang usang juga memiliki karakter penjajah karena hukum tersebut lahir dan dikembangkan oleh negara penjajah untuk kepentingan menguasai negara jajahannya.
Selain itu kondisi tersebut diperparah dengan kondisi aparatur penegak hukum yang tidak berintegritas, gampang disogok, dan lain sebagainya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa karakter aparatur penegak hukum di Indonesia yang buruk. Sebagian besar aparatur penegak hukum Indonesia tidak berpegang pada etika dan moral yang baik.
Ketidakpuasan masyarakat atas penegakan hukum di Indonesia bukanlah tanpa alasan. Banyaknya putusan pengadilan yang tidak mencerminkan satu keputusan yang adil bagi masyarakat. Sebagai contoh Putusan No. 237 PK/Pid.Sus/2020 terhadap terpidana Tindak Pidana Korupsi Fahmi Darmawansyah yang diputus 1 Tahun 6 Bulan.
Putusan ini sangat melukai perasaan publik. publik melihat adanya proses penegakan hukum yang serampangan dan diduga adanya permainan antara penegak hukum dan terdakwa yang dipertontonkan secara vulgar.
Kemudian belum lama ini juga publik kembali dibuat kecewa atas Vonis Bebas terhadap terdakwa Unlawfull Killing anggota Laskar FPI Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella. Drama penegakan hukum yang penuh dengan kebusukan itu membuat publik semakin tidak percaya kepada aparatur penegakan hukum.
Dan yang masih hangat sekali adalah penetapan tersangka oleh polres Loteng terhadap Amag Santi alias Murtede yang membela diri atas tindakan begal yang menimpanya hingga sampai terbunuhnya dua orang begal.
Oleh polres Loteng Murtede ditetapkan sebagai tersangka. Padahal publik memahami ini sebagai sesuatu yang tidak pantas dibebankan kepada Murtede, dan dalam pasal 49 KUHP sendiri menyatakan bahwa ” Tidak dipidana barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain karena adanya serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”.
Tindakan polres Loteng ini membuat publik bereaksi keras karena dinilai penetapan tersangka atas murtede dinilai sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai hukum bagi masyarakat.
Contoh-contoh tersebut hanya sebagian kecil saja. Masih banyak contoh-contoh lain mengenai penegakan hukum yang juga melukai perasaan keadilan masyarakat.
Keterpurukan penegakan hukum di Indonesia itu sesungguhnya disebabkan oleh faktor integritas aparatur penegak hukum, itu yang paling menentukan.
Aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak diaplikasikannya nilai kemanusiaan, nilai musyawarah untuk mufakat dan nilai keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Sedangkan faktor-faktor lain menurut pandangan penulis adalah masih bisa ditoleransi sepanjang integritas penegak hukumnya baik.
Penulis menyarankan agar pendidikan moral untuk para penegak hukum harus ditanamkan sedini mungkin agar dapat memutus mata rantai buruknya moral penegak hukum di Indonesia.
Dan selanjutnya untuk memastikan materi hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman maka sudah seharusnya pemerintah melakukan Rekodifikasi KUHP dengan memasukan unsur-unsur nilai yang sesuai dengan landasan filosofis bangsa yaitu Pancasila.***
Penulis: M. ALI, SH, MH (Wakil Bendahara Young Lawyers Committee DPC Peradi Tangerang)
Editor: Muzakkir